Senin, 19 Juli 2010

Isra' Dan Mi'raj


Catatan:
** Tulisan ini menjadi ‘hutang’ kepada diriku sendiri dan kepada temanku Justin Candra untuk menulis pendapatku tentang Isra’ dan Mi’raj.
** Karena ini pendapatku, maka kebenaran tentang tulisan ini sudah tentu sangat subyektif. Untuk itu, segalanya aku serahkan kepada pembaca.
** Sebisa mungkin, aku ambil beberapa referensi sebagai penunjang agar argumentasi yg digunakan mempunyai sumber pustaka.


Sebagai sebuah peristiwa sejarah, Isra’ dan Mi’raj diabadikan dalam Kitab Suci umat Islam Al-Qur’an. Surat Al-Israa’ (QS 17:1) “ Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-NYA pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Serta di surat lain An Najm (QS 53:13-18) “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupa yang asli) pada waktu yang lain. (yaitu) di Sidratul Muntaha. Didekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.”

Konon, peristiwa ini dilatarbelakangi dengan dua peristiwa yang sangat mengguncangkan hati Sang Nabi, yaitu meninggalnya isteri tercinta, Khadijah dan paman sang pelindung beliau yang menjadi benteng tangguh dari serangan dan terror kaum Quraisy yang menolak ajaran beliau saat itu. Rupanya Tuhan tidak membiarkan hambaNYA yang terpilih ini gundah gulana, kepadanya-lah risalah-risalah Ilahi harus disampaikan kepada umat manusia, Muhammad masih menyandang tugas kenabian yang harus dia selesaikan, dia tidak boleh melupakan itu meski dia didera dengan cobaan yang maha dahsyat yaitu berpulangnya 2 orang yang sangat berperan penting dalam mendukung dia dalam melaksanakan tugas-tugas kenabian.

Maka, terjadilah peristiwa sejarah yang agung ini. Jibril diutus untuk membawa Rasul Agung ini ‘berwisata’ untuk membangkitkan kembali motivasi dan mental Muhammad yang sedang ‘down’ saat itu. Peristiwa ini menjadi fenomenal karena pelakunya adalah seorang nabi didampingi dengan seorang malaikat, jadi ini bukanlah ‘wisata’ biasa, ini ‘wisata’ yang sarat dengan kemukjizatan yang tidak masuk akal bagi manusia biasa. Tuhan, Sang Penguasa Bumi dan Langit, ingin mempertontonkan kekuatan dan kekuasaanNYA kepada Muhammad, nabi yang IA pilih untuk menyampaikan pesan-pesanNYA kepada makhlukNYA.

Dalam buku ‘Terpesona di Sidratul Muntaha’ karya Agus Mustofa, dipaparkan bahwa sebenarnya dua peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini walaupun terjadi secara simultan tetapi sejatinya itu adalah dua peristiwa yang berbeda secara metodologi, itu terbukti dengan pengabaran peristiwa ini di dua surat terpisah dalam Al-Qur’an. Isra’ di dalam surat Al-Israa’ sedangkan Mi’raj di dalam surat An Najm seperti yang tercantum pada awal tulisan ini. Secara ringkas digambarkan bahwa, Isra’ adalah perjalanan malam hari dari Mesjidil Haram di Mekah ke Mesjidil Aqsha di Palestina hanya beberapa menit saja. Seperti yg saya ingatkan, bahwa peristiwa ini sarat dengan kemukjizatan karena memang Tuhan sedang mempertontonkan kekuasaanNYA. Tetapi Tuhan memberikan ruang bagi makhlukNYA yang berakal untuk mencari hikmah dari kejadian ini, untuk itu beberapa ahli dan ulama mencoba mendekati pendekatan ilmiah. Pada zaman itu belum ada pesawat jet atau express train, yang ada adalah menunggang unta kalau melakukan perjalanan jarak jauh.

Jarak antara Mekah dan Palestina yang ditempuh jika menunggang unta akan berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Sehingga bila Muhammad menempuh dengan beberapa menit saja tentu dengan kecepatan yg sangat dahsyat. Kecepatan yang dianggap paling cepat di dimensi dunia ini adalah cahaya, mungkinkah kecepatan itu yg dialami Sang Nabi ? Mungkin saja, kenapa tidak ? teori tentang ini baru ditemukan abad ke 20 oleh Einstein dengan rumus E = m C² bahwa suatu materi padat yg mempunyai massa bisa menjadi energi bila menempuh kuadrat kecepatan cahaya. Kalau begitu siapa yang membuat kecapatan dahsyat itu ? itulah peran yg dijalankan oleh Bouraq dan Jibril. Secara fiksi perpindahan materi yg ditandai dgn perubahan wujud ke dua tempat yg terpisah jauh, bisa dilihat dalam film ‘star treck’ atau sejenisnya. Perpindahan itu dilakukan dalam tabung energi, itulah mungkin mengapa peristiwa ini terjadi dari mesjid ke mesjid. Mesjid adalah tabung energi super dahsyat..!

Mengapa ke Palestina ? karena disinilah Muhammad diajak untuk menapak tilas tentang sejarah ajaran yg ia bawa, bahwa beliau meneruskan ajaran dan tugas kenabian seperti yg dilaksanakan oleh nabi-nabi sebelumnya.

Lalu bagaimana dgn Mi’raj ? dalam dunia astronomi, yang disebut langit pertama itu berisi 200 milyar galaksi yg masing galaksi berisi 100 milyar bintang dan planet. Jarak terdekat saja dari bumi adalah galaksi bima sakti sejauh 25 ribu tahun cahaya, artinya walaupun Muhammad menunggangi Bouraq yang menempuh kecepatan setara kecepatan cahaya dibutuhkan waktu 25 ribu tahun utk mencapai galaksi terdekat ini, belum galaksi-galaksi lain yg jumlahnya milyaran, dan ini baru lapisan langit pertama, sedangkan langit pertama adalah satu butir pasir dari hamparan padang pasir lapisan langit kedua, dan lapisan langit kedua adalah satu butir pasir dari padang pasir langit ketiga, begitu seterusnya sampai langit ke tujuh. Sampai di langit ke tujuh inilah digambarkan perjalanan Muhammad berujung. Apakah rumus Einstein itu bisa berlaku disini ?

Fakta inilah, yang menyebabkan ada dua arus pendapat bahwa Muhammad mengalami Mi’raj dengan badan fisiknya, sedangkan pendapat lain (termasuk saya) meyakini bahwa perjalanan Mi’raj Nabi adalah bukan dalam dimensi fisik, tetapi perjalanan spiritual tubuh energi (eternal body) Muhammad dalam menembus dimensi2 ketuhanan yang disimbolkan dengan lapisan langit. Bagi Sang Nabi Muhammad SAW yang suci tidak ada bedanya wujud fisik dan wujud spiritnya, artinya apa yang dialami dalam Mi’raj beliau seolah-olah terjadi seperti beliau dalam dunia fisiknya.

Saya tidak akan membahas peristiwa Mi’raj ini lebih dalam, karena memang tidak mudah untuk dijelaskan. Saya ingin menjawab pertanyaan diri saya sendiri : Apakah Isra’ dan Mi’raj adalah hak yang diberikan Tuhan ‘hanya’ untuk Muhammad seorang ? Jawabannya adalah ya dan tidak!, hak yang diberikan Tuhan, apapun itu, kepada Muhammad, bisa juga diberikan kepada manusia lainnya, ASAL manusia itu sudah bisa menjadi seorang “Muhammad”… tetapi bagi kita umat beliau, yang harus kita akui levelnya jauh sekali dibawahnya, kita masih bisa menikmati hak Mi’raj sesuai dengan kemampuan dan level kita. Kapan itu ? Janji Tuhan untuk memberikan hak Mi’raj itu disampaikan melalui ucapan Sang Rasul Muhammad SAW “Mi’rajnya orang mukmin adalah pada waktu shalat”. Itulah sebabnya, peristiwa Isra’ dan Mi’raj selalu dikaitkan dengan perintah shalat.

Sebagai penutup, saya ingin menampilkan kutipan dari seorang ilmuawan muslim bernama Abdul Karim Al Jaili dalam bukunya yang fenomenal ‘Insan Kamil’ terkait masalah ini. “ Ketahuilah, sejatinya Sidratul Muntaha itu adalah penghujung (muara) tempat dan puncak kedudukan, yang bisa digapai makhlukNYA dalam meniti jalan Tuhan, tempat setelah Sidratul Muntaha adalah Khusus untul Al Haq.. “


Wallahualam.. hanya Tuhan yang Maha Mengetahui kebenaran sejati.

Cikarang, 22 Juli 2009

Penulis,


Faisal Mahbub

Tidak ada komentar:

Posting Komentar