Kamis, 15 Juli 2010

Catatanku untuk Sang Maestro


Rabu, 30 Desember 2009, pukul 18.45 WIB, bumi berhenti berputar sejenak. Telah berpulang “anak semua bangsa” KH. Abdurrahman Wahid ke pangkuan Sang Maha Pencipta. IA yang menciptakan makhlukNYA, IA pula yang akan mengambil kembali makhlukNYA…

Gus Dur, inilah panggilan akrabnya. Sebuah panggilan yang berkonotasi religius, sakral dan tak bisa disentuh tetapi Gus yang Dur ini tidaklah demikian. Jika masyarakat memberikannya gelar ‘Kiai’, jelaslah ia seorang religius. Ditambah dengan latar belakang keluarga, pendidikan, dan lingkungan sekitarnya makin kita paham bahwa dunia religi (dalam hal ini Islam) adalah dunia yang tidak bisa dipisahkan darinya. Tetapi, religiusnya Gus Dur malah bisa dirasakan oleh semua golongan dan agama. Ini kehebatan awal yang ingin saya sampaikan di sini.

Gus Dur, seorang religius tetapi ia berpikir merdeka. Hanya orang-orang yang berpikir picik lah yang menilai rendah bahkan menghujat pikiran-pikiran dan ide-ide keagamaannya. Sebuah kenyataan pahit memang, orang yang hanya tahu ‘satu-dua’ ayat suci sudah berani berkata tidak pantas terhadapnya. Terhadap orang-orang seperti ini, aku ibaratkan, seorang tukang batu yang ditanya tentang ciri-ciri berlian, ia akan jawab kasar dan hitam. Tukang batu hanya tahu tentang batu saja.

Gus Dur, sudah menampilkan citra Islam yang bisa diterima semua umat beragama yang ada di Indonesia dan Dunia. Ia tegakkan bendera Islam yang ‘rahmatan lil ‘alamiin’. Ia yang memperindah wajah Islam di Indonesia menjadi lebih ramah dan bersahabat. Ia seorang kiai tetapi dihormati oleh para pendeta, pastor, bikhu, bahkan Paus sekalipun. Ia membawa Islam menjadi juru damai bukan juru perang..!!!

Gus Dur, menempatkan manusia pada posisi khittah (genuine) sebagai seorang manusia. Manusia, siapapun itu dan agama apapun itu, tetap harus dipandang sebagai manusia, yang harus saling tolong menolong dan bersama-sama menjaga amanah dari Sang Pencipta. Tidak ada kasta di antara umat manusia. Tidak ada ras unggul di antara umat manusia. Begitu juga, tidak ada kasta dalam agama-agama di muka bumi ini. Agama yang satu tidak boleh merasa yang paling baik bagi agama lain, karena output beragama bukanlah menghasilkan sebuah konsep, tetapi laku ibadah pemeluknya yang benar-benar menjalankan perintah Tuhan. Dan ibadah, harus terefleksikan dengan sikap saling menyayangi sesama karena ini bagian dari perintah Tuhan. Tidak ada agama yang mengajarkan untuk memusuhi umat agama lain. Satu-satunya musuh bersama adalah hawa nafsu manusia. Dalam konteks inilah Tuhan menurunkan risalahNYa melalui para RasulNYA.

Gus Dur, mengajarkan kita tentang banyak hal. Keberaniannya dalam mengemukakan ide dan pikiran, sikapnya yang melindungi kaum minoritas, sangat mencintai agama dan bangsanya, visi kebangsaannya yang jauh ke depan yang kadang2 tidak bisa dipahami oleh orang awam dan ia tidak peduli dengan semua itu, baginya orang harus disiram air agar bangun dari tidurnya. Ia juga seorang pemberani tanpa tanding. Disaat orang-orang sedang asyik-asyiknya dibius oleh kenikmatan rezim orde baru, disaat semua menjadi penjilat pantat penguasa waktu itu, Ia lah yang dengan keberanian yang luar biasa melakukan perlawanan. Bukan tanpa resiko, berkali-kali ia luput dari maut hasil keganasan teror khas rezim saat itu.

Selamat jalan Sang Maestro….. Selamat jalan Gus… Tunai sudah tugasmu di dunia ini, biarlah kami yang akan meneruskan perjuanganmu. Sungguh, Tuhan sudah menempatkanmu di tempat yang layak, tempat dimana dipenuhi dengan cahaya Tuhan, tidak di dunia ini yang banyak makhluk-makhluk munafik dan kerdil yang kerap membuat luka di hatimu…

Innalillaahi Wa innalillaahi Raaji’uun.

31 Desember 2009

FM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar